Senin, 28 Desember 2009

ONTOLOGI (METAFISIKA, ASUMSI, DAN PELUANG)

A. Pendahuluan
Secara etimologi menurut Sudarsono (2008) istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah. Ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris philosophy. Kedua istilah tersebut berakar dari bahasa Yunani yaitu philosophia. Istilah tersebut memiliki dua unsur asasi, yaitu: philein yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Sehingga dapat dipahami bahwa filsafat adalah cinta kebijaksanaan.
Secara terminologi menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya (suriasumantri,1990). Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.
Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian. Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau pengalaman dengan maksud tertentu (de Bono, 1982). Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi obyek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu. Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan umpan balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan berlangsung secara sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah kecerdasan mengupas (critical intelegence). Ontologi ilmu, suatu analisis filsafat tentang kenyataan dan keberadaan yang berkaitan dengan hakikat “ada” yang merupakan cabang utama metafisika. Dalam situs (http://id.wikipedia.org) metafisika merupakan studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berfikir yang benar, selalu mempunyai asumsi, dalam arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran, yang tentunya terdapat peluang-peluang akan menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan.
Berdasarkan uraian di atas maka makalah ini akan dibahas tentang metafisika, asumsi dan peluang.

B. Metafisika, Asumsi dan Peluang
1. Metafisika
Istilah metafisika berasal dari meta dan fisika. Meta berarti sesudah, selain, atau sebaliknya. Fisika berarti nyata atau alam. Metafisika berarti sesudah sebalik yang nyata. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat dibalik alam nyata. Metafisika memperbincangkan hakikat dari segala sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera (Sudarsono, 2008).
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika. Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya. Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafat, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Menurut Suriasumantri (1990) terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini antara lain:
a. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda (Suriasumantri, 1990).
b. Naturalisme.
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui. Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra (Suriasumantri, 1990).
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup. Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan bagian dari proses kimia fisika tersebut. Pertanyaan berlanjut pada bagaimana pandangan mengenai pikiran (kesadaran). Bagi kaum vitalistik, hidup merupakan sesuatu yang unik yang berbeda dengan proses kimia fisika tersebut. Proses berfikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun, apakah apakah kebenarannya dari hakikat pikiran tersebut. Apakah dia berbeda dengan benda yang ditelaahnya, ataukah bentuk lain dari zat tersebut.
Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan tokohnya Christian Wolf (1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda antara pikiran dengan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan proses berlainan, namun memiliki substansi yang sama. Sebagaimana energi dan zat, teori Einstein: menyatakan energi hanya bentuk lain dari zat. Jadi proses berfikir dianggap sebagai aktivitas elektro kimia dari otak (Suriasumantri, 1990).
Kelompok lainnya, yaitu aliran dualistik memberikan pendapat yang berbeda tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (fikiran) adalah berbeda secara substantif, sui generalis. Tokoh penganut paham ini antara lain Rene Descartes, John Locke dan George Berkeley. Mereka menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran manusia, termasuk penginderaan dari hasil pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Yang bersikap nyata hanyalah pikiran, karena dengan berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada. Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. John Locke mengibaratkan pikiran manusia pada awalnya merupakan sebuah lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman inderawi akan melekat dalam lempeng tersebut. Organ manusia lah yang menangkap dan menyimpan pengalaman inderawi (Suriasumantri, 1990).
Berkeley terkenal dengan ungkapannya to be is to be perceived. Ada adalah disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena manusia berpikir dan memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi muncul karena persepsi ini dan menghasilkan sesuatu yang berujud (Suriasumantri, 1990).
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.

2. Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian (Suriasumantri, 1990). Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Hipotesis merupakan asumsi, jika diperiksa ke belakang (backward). Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat tiga jenis asumsi menurut Hornby (1974) yaitu: (1) aksioma, pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri, (2) postulat, pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya, (3)premise, pangkal pendapat dalam suatu entimen. Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik yaitu:
a. Deterministik.
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh: William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat uiversal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih banyak dikenal dan asumsinya banyak digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam. Satu jam adalah sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapa pun jumlah percobaan dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan carbon dioksida (Suriasumantri, 1990).

b. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu (Suriasumantri, 1990).
c. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi (Suriasumantri, 1990).
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
3. Peluang
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu disadari bahwa “…ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak” (Suriasumantri, 1990). Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut. Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “ 80% anda akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah meminum obat ini”.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.
Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.
C. Kesimpulan
Metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.
Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran.
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.

Daftar Pustaka
De Bono, E. 1982. Teaching thinking. Penguin Books Ltd. Hardmonswoth, Middlesex, England.

Hornby,A.S., A.P.Cowie, & A.C.Gimson. 1974. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford University Press.Oxford.

Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu pengantar. 2008. Jakarta: Rineka Cipta

Suriasumantri, Jujun S, 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

(http://id.wikipedia.org). Diakses tanggal 28 Oktober 2009.

CERITA PENDEK TEMPO LALU

BUAH KARYA

Gelap begitu pekat, hujanpun turun rintik- rintik. Angin malam meniup begitu kencang menghembus dingin menusuk tulang. Kulirik arloji di tangan kananku, waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB dini hari. Belum ada tanda-tanda kereta dari Palembang menuju Bandar Lampung tiba. Aku di stasiun Kereta Api Baturaja bersama putriku Ratu Beatrice Zakiyyah yang baru berusia 17 hari. Menanti besi tua Limex yang akan mengantar kami singgah ke Bandar Lampung dan selanjutnya perjalanan akan diteruskan ke Jakarta. Tujuan perjalananku ke Jakarta untuk mempresentasikan karya tulis ilmiahku yang berjudul “Rotasi-3 Sebagai Alat Pembelajaran Fisika di SMAN 4 OKU”.

Karya ini kubuat penuh keikhlasan saat Ratu Beatrice Zakiyyah masih dalam kandungan dengan harapan, karya ini bisa memberi manfaat bagi dunia pendidikan Indonesia. Sebagai wujud pengabdian dan cintaku kepada Tuhan, bangsa dan negara. Juga sebagai tauladan, contoh pembelajaran bagi anak-anakku terutama calon anakku yang masih berada di dalam rahimku, yang langsung bisa merasakan atau ikut berperan serta dalam pembuatan ide-ide Rotasi-3, perangkaian alat-alat Rotasi -3, dan penyusunan laporan Rotasi-3.

Kulirik lagi arloji di tangan kananku, kini waktu bergeser limabelas menit ke depan, masih belum juga terlihat tanda-tanda kereta akan tiba. Kudekap erat buah hatiku Ratu Beatrice Zakiyyah yang masih tidur lelap dalam gendonganku. Gelap masih terus mencekam, hujan masih enggan berhenti, dinginpun semakin menusuk tulang. Semakin tambah kupererat dekapanku pada buah hatiku sambil berbisik, “Nak seperti Ayah kita juga sedang berjihad, kita akan ke Jakarta. Tidur lelap ya sayang, yang tenang, yang anteng”. Suamiku tercinta Rhobert Jonsons, S.P. Komandan Satuan Polisi Kehutanan OKU, saat ini tidak bisa mendampingi keberangkatanku. Beliau sedang menunaikan tugas negara, mengikuti pendidikan SPORC di Sukabumi Jawa Barat. Dan saat inipun suamiku tidak tahu keadaanku, keberadaanku, anak-anakku. Hubungan kami terputus walaupun selintas lewat Hp, karena pendidikan yang dilaksanakan suamiku masih di fase pembasisan. Hatiku pilu terbayang saat sebelum berangkat meninggalkan rumah, sempat kupandangi dan kuciumi tiga orang putraku, yang tertua berusia 5 tahun, yang nomor dua berusia 3 tahun dan yang ketiga berusia 1 tahun, mereka masih tertidur lelap pulas di pembaringan.

Kuingat kembali bagaimana bersemangatnya aku berjuang membuat karyaku Rotasi-3. “Nak.. ibu.... ingin Kakak-kakak kelas XI IPA mudah menerima pelajaran Dinamika Rotasi, kita buat alat pembelajaran ya”. Begitu bisikku pada janinku saat timbul ide di fikiranku. sambil mengelus-elus perutku. “Kita ambil katrol, kita pasang di sini, nah tabungnya di sini”, salah satu bisikanku saat pembuatan alat Rotasi-3. Begitupun saat penyusunan laporan pembuatan alat Rotasi-3, kubisikkan janinku sambil kuelus-elus perutku “Nak Bantu ibu ngetik laporan ya, nanti kita kirim ke PMPTK Diknas Jakarta, biar alat Rotasi-3 yang kita buat bisa di manfaatkan di sekolah-sekolah lain. Kamu nanti kalau sudah keluar dan besar, buat karya yang lebih bagus lagi, yang manfaatnya bisa menyentuh ke seluruh pelosok bumi”.

Harapanku begitu besar, aku ingin anak-anakku menjadi anak yang berguna bagi
agama, orangtua, keluarga, bangsa dan negara. Dan semua itu harus kucontohkan sejak dini, sejak anakku masih dalam kandungan. Karena hanya dengan contoh yang nyata, ketauladanan dalam kesehari-harian yang nyata yang merupakan resep mujarab untuk mencapai harapanku.Tidak jarang selama kehamilanku ini, aku hanya tertidur 4 sampai 5 jam sehari sebagai waktu untuk istirahat dari 24 jam waktu yang tersedia.

Senin 6 November 2006 pukul 12.45 WIB, Hpku berdering. Lalu kuambil Hpku untuk menyambut suara di seberang sana, “Benar ini ibu Annerlie Putri Agung, S. Pd. ?, “benar”, jawabku. “Ibu, ini dari Dirjen PMPTK Diknas Jakarta. Dari 1.484 pengirim karya tulis, karya ibu terpilih sebagai 120 orang finalis. Surat-surat segera kami susulkan, ibu bersiap-siap untuk presentasi tanggal 21-26 November di hotel Radin Ancol Jakarta………..”.

Teryata usaha dan kerja kerasku tidak sia-sia. Aku bergegas setengah berlari gembira menemui anakku Ratu Beatrice Zakiyyah yang telah terlahir seminggu yang lalu tepatnya Senin 30 Oktober 2006. Kuciumi anakku, kusampaikan berita gembira ini

Pluit nyaring dan panjang memecahkan kesunyian malam dan membubarkan lamunanku. Kereta Limex dari Palembang yang dinanti-nanti telah tiba. Hujan masih turun terus perlahan, malam masih pekat mencekam, dan dingin masih terus terasa mengigit tulang. Kutinggalkan stasiun Kereta Api Baturaja, kulangkahkan kaki memasuki gerbong kereta dengan tujuan presentasi karya ke Jakarta.